Abses Hati Amebik
2.2.1 Defenisi
Abses hati amebik adalah
bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena infeksi Entamoeba histolytica yang bersumber
dari intestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan
pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel-sel
darah dalam parenkim hati (Wenas & Waleleng, 2006).
2.2.2 Etiologi
Etiologi
abses hati amebic adalah protozoa pseudopodia
amoeba intestinal yang patogen yakni Entamoeba
histolytica. Protozoa ini memiliki dua bentuk dalam siklus hidupnya yakni
kista dan trofozoit yang dapat bergerak. Bentuk trofozoit merupakan bentuk
vegetatif yang tidak tahan terhadap suasana asam dan kering. Trofozoit sangat
aktif bergerak, memiliki kemampuan
memangsa eritrosit (haematophagous
trophozoite), serta mengandung protease yaitu hialuronidase dan
mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan destruksi jaringan.
Bentuk
kista merupakan bentuk infektif E.histolytica.
Kista resisten terhadap suasana kering dan asam, juga bisa bertahan di luar
tubuh manusia. Bentuk kista terdiri atas dua macam yakni kista muda dan ksita
dewasa. Kista muda berinti satu mengandung gelembung glikogen dan badan-badan
kromatioid berbentuk batang yang berujung tumpul. Kista dewasa berinti empat.
Kista hanya terbentuk dan dijumpai di lumen usus dan tidak dapat dibentuk di
luar tubuh serta tidak dapat dijumpai di dinding usus dan jaringan tubuh di
luar usus.
2.2.3 Patogenesis
E. histolytica masuk ke
dalam tubuh manusia melalui kista yang tertelan. Dikarenakan sifatnya yang
reisten terhadap asam dan lingkungan, kista yang keluar dari tubuh melalui
feses, dapat menempel di daun tanaman, di air, dan tanah sehingga apabila
higienitas seseorang kurang baik, maka kontak dengan hal-hal tersebut dapat
menjadi sarana masuknya kista ke dalam tubuh. Kista kemudian masuk ke dalam
tubuh hingga menuju usus besar. Kista berkembang menjadi trofozaoit yang pada
awalnya hidup sebagai komensal. Trofozoit kemudian membentuk koloni dan
melepaskan protease yang menyebabkan ulserasi. Faktor penyebab berubahnya sifat
trofozoit ini kemungkinan adalah kerentanan pejamu (host) yakni kehamilan,
malnutrisi, penyakit keganasan, penggunaan imunosupresan, bahkan konsumsi
alkohol jangka panjang; faktor virulensi ameba dan faktor lingkungan.
Gambar 1 : Siklus Hidup
E.histolytica
Selanjutnya, kerusakan
sawar intestinal akibat lisisnya sel epitel mukosa usus dan sel-sel inflamatorik
mengakibatkan trofozoit dapat masuk melalui vena-vena kolon seperti venula
mesentrica yang merupakan cabang vena porta hepatica. Selanjutnya, lewat aliran
vena tersebut trofozoit dapat mencapai parenkim hati. Parasit ini di hati
mengakibatkan akumulasi netrofil periportal yang disertai nekrosis dan
infiltrasi granulomatosa. Pada awalnya terbentuk mikroabses yang kemudian
membesar dan terbentuk jaringan nekrotik. Bagian nekrotik ini kemudian
dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa. Amebiasis hati ini dapat
terjadi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah terjadinya amebic
intestinal dan dapat terjadi tanpa didahului oleh riwayat disentri amebiasis
sebelumnya.
Abses lebih sering
terjadi di lobus kanan hati dibandingkan di lobus kirnya. Hal ini sesuai dengan
aliran vena porta di lobus kanan yang lebih dominan berasala dari vena
mesentrica superior, sementara lobus kiri lebih banyak menerima aliran dari
vena splanchnicus (Brailita, 2008)
2.2.3 Penegakan Diagnosis
a.
Anamnesis:
Pasien
umumnya datang dengan keluhan nyeri abdomen kanan atas. Nyeri dirasakan seprti
tertusuk dan ditekan. Nyeri dapat dirasakan menjalar hingga ke bahu dan lengan
kanan. Pasien merasa semakin nyeri apabila batuk, berjalan, menarik napas
dalam, dan berbaring miring ke sisi tubuh sebelah kanan. Pasien juga merasa
lebih nyaman berbaring miring ke sisi tubuh sebelah kiri.
Demam
dijumpai pada 87-100% kasus, mual dan muntah ditemukan pada 32-85% kasus, dan
dapat dijumpai pula penurunan berat badan. Keluhan diare dijumpai pada
sepertiga kasus, bahkan pada beberapa kasus dijumpai riwayat disentri beberapa
bulan sebelumnya (Brailita, 2008).
Hal
lainnya yang perlu dinilai dalam anamnesis adalah riwayat sakit kuning
sebelumnya dan riwayat keluarnya proglottid ( lembaran putih di pakaian dalam)
dengan tujuan menyingkirkan diagnosa banding.
b. Pemeriksaan fisik:
Dari pemeriksaan tanda vital umumnya
ditemukan demam. Pada mata ditemukan konjungtiva palpebra inferior pucat.
Selain itu juga dapat dijumpai sklera ikterik akibat abses yang multiple
ataupun abses yang meluas hingga menekan duktus biliaris. Pada pemeriksaan
thorax dapat dijumpai peningkatan batas paru hati relatif/absolut tanpa
peranjakan. Selain itu, suara pernapasan dapat melemah pada lapangan paru kanan
bawah. Ditemukannya ‘friction rub’
pada pemriksaan thorax menunjukkan rupture abses ke pericardium dan nilai
mortalitasnya sangat tinggi.
Dari pemeriksaan abdomen ditemukan hepatomegali
yang nyeri tekan. Hepar meiliki tepi yang regular dengan permukaan licin dan
teraba adanya fluktuasi. Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan Ludwig sign, yakni menekan sela iga ke-6
setentang linea axilaris anterior, apabila terdapat nyeri tekan maka menguatkan
dugaan abses hati. Nyeri tekan di kuadran kanan atas umumnya dijumpai. Nyeri
tekan pada region epigastrium menggambarkan kemungkinan abses di lobus kiri dan
keadaan ini harus diwaspadai mengingat kecenderungan abses di lobus kiri menyebabkan efusi pericardium. Nyeri tekan
yang menjalar ke lumbal kanan menimbulkan dugaan letak abses di postoinferior
lobus kanan hati. Apabila terdapat akut abdomen dan bising usus menghilang maka
dipertimbangkan kemungkinan perforasi ke peritoneum.
c. Pemeriksaan laboratorium:
Pemeriksaan laboratorium yang pertama
dipertimbangkan adalah pemeriksaan darah rutin dimana akan ditemukan
leukositosis ( 11.000-25.000/mm3) dengan neutrofil batang >70%
dan anemia normokromik normositer. Akan tetapi, pada kasus yang kronik,
leukosistosis dapat saja tidak ditemui dan dijumpai anemia hipokrom mikrositer.
Pada pemeriksaan feses rutin dapat dijumpai
leukosit, kista, dan bentuk trofozoit yang mengandung eritrosit.
Pemeriksaan fungsi hati perlu dilakukan
untuk menyingkirkan diagnosa banding, dan mengetahui kronisitas penyakit. Pada
abses hati yang akut dapat dijumpai peninggian SGOT. Sementara itu, pada kasus
yang kronik SGOT cenderung normal, akan tetapi terjadi peningkatan SGPT. Akan
tetapi pada beberapa kasus yang dilaporkan, tidak dijumpai peninggian SGOT dan
SGPT. Hiperbilirubinemia jarang terjadi kecuali abses mengakibatkan kolestasis.
d. Radiologis:
Pada foro thorax dijumpai dome diafragma
yang meninggi, hal ini dimungkinkan akibat penekanan abses. Pada USG abdomen
didapati lesi berbentuk bulata atupun oval, tunggal, berbatas tegas dan
hipoekoid. USG abdomen juga dapat mengkonfirmasi letak lobus.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk
menyingkirkan diagnose banding selanjutnya adalah alfafetoprotein (AFP) dimana
nilai normalnya 0-20ng/ml. Apabila didapati AFP > 400ng/ml maka nilai ini
sangat sugestif untuk penegakan diagnosa hepatoma.
e. Kriteria Penegakan Diagnosis ;
Terdapat beberapa acuan penegakan
diagnosis yakni kriteria Ramachandra, kriteria Sherlock, juga kriteria Lamont
dan Pooler.
Kriteria Ramachandran ditegakkan abses
hati bila didapatkan tiga atau lebih dari:
-
Hepatomegali
yang nyeri tekan
-
Riwayat
disentri
-
Leukositosis
-
Kelainan
radiologis
-
Respons
terhadap terapi amoebisid
Kriteria
Sherlock yakni :
-
Hepatomegali
yang nyeri tekan
-
Respon
yang baik terhadap terapi amoebisid
-
Leukositosis
-
Peninggian
diafragma kanan dengan pergerakan yang kurang
-
Aspirasi
pus
-
Pada
USG ditemukan rongga dalam hati
-
Tes
hemaglutinasi positif
Kriteria
Lamont dan Pooler ditegakkan abses hati bila didapatkan tiga atau lebih
dari:
-
Hepatomegali
yang nyeri
-
Kelainan
hematologis
-
Kelainan
radiologi
-
Pus
amoebik
-
Tes
serologi positif
-
Kelainan
sidikan hati
-
Respon
yang baik terhadap terapi amoebisid
f. Diagnosa banding
Diagnosa banding abses hati amebic
adalah:
-
Abses
hati piogenik: umumnya disebabkan apendisitis dan infeksi pada saluran empedu.
Dengan demikian, pada anamnesis perlu ditanyakn riwayat nyeri abdomen kanan
bawah dan riwayat sakit kuning sebelumnya
-
Kolesistisis
-
Kista
hidatid : perlu ditanyakan kebiasaan makan dan adanya pengeluaran proglotid
-
Kolelitiasis
; perlu ditelusuri gambaran nyeri, sclera ikterik dan Murphy sign
-
Karsinoma
sel hati primer
2.2.4 Penanganan
Terapi
untuk pasien dengan abses hati amebic berupa medikamentosa, aspirasi
terapeutik, dan pembedahan.
Pemberian
derivat nitroimidazole seperti metronidazole masih merupakan lini pertama
pengobatan abses hati amebik dengan dosis 3x750 mg selama 5-10 hari. Hal ini
dikarenakan kemampuannya sebagai agen amebiasis ekstraluminal. Akan tetapi obat
ini tidak poten terhadap kista (bentuk intraluminal) sehingga perlu
dikombinasikan dengan Paramomycin dengan dosis 4X500mg. Pilihan lainnya dapat
pula ditambahkan atau diganti dengan kloroquin fosfat dengan dosis 1gr/hari
selama 2 hari dilanjutkan dengan 500mg/hari selama 20 hari. Hal ini dilakukan
apabila setelah terapi metronidazole selama 5 hari tidak terdapat perbaikan
ataupun bila terdapat intoleransi. Obat lini kedua yang digunakan yakni
dihydroemetin 1-1,5mg/kgBB/hari secara intramuskular (maksimum 99gr/hari)
selama 10 hari. Akan tetapi, yang
terakhir disebutkan relatif toksik sehingga perlu kewaspadaan pemakaian.
Tindakan
aspirasi terapeutik diindikasikan apabila :
-
abses dikhawatirkan akan pecah ( terutama bila
diameter >5 cm)
-
Tidak ada respon terhadap medikamentosa
setelah 7 hari
-
Abses berada di lobus kiri memiliki
risiko mudah pecah ke rongga peritoneum ataupun pericardium
Tindakan
pembedahan berupa drainase atau[un lobektomi dilakukan apabila :
-
Abses disertai komplikasi infeksi
sekunder
-
Abses jelas menonjol ke abdomen atau
ruang interkostla
-
Terapi medika mentosa dan aspirasi tidak
berhasil
-
Rupture abses ke rongga
perikardial/pleural/peritoneum
2.2.5 Komplikasi
Komplikasi
yang umumnya terjadi dapat berupa:
a.
infeksi sekunder yang umumnya terjadi pada 10-20% kasus
b.
ruptur abses menyebabkan perikarditis, pleuritis ataupun peritonitis
c.
komplikasi vaskuler berupa ruptur abses ke dalam vena porta hepatica, saluran
empedu, ataupun traktus gastrointestinal
d.
parasitemia dan amebiasis serebral dimana parasit masuk ke alirand arah
sistemik dan menginvasi organ lain misalnya otak yang memberikan gambaran
klinik lesi fokal intrakranial.
2.2.6 Tatalaksana
Beberapa
faktor yang mempengaruhi prognosis yakni virulensi parasit, status imunitas dan
keadaan nutrisi pasien, usia pasien dimana prognosis lebih buruk pada usia tua,
kronisitas penyakit dimana tipe akut memiliki prognosis yang lebih buruk, letak
dan jumlah abses, prognosis lebih buruk bila abses di lobus kiri atau multiple.
Sejak
digunakannnya pemberian obat seperti emetine, metronidazole, dan kloroquin,
mortalitas menurun secara tajam. Penyebab mortalitas umumnya adalah sepsis
ataupun sindrom hepatorenal.