Kamis, 30 Mei 2013

Abses Hati


 Abses Hati Amebik

2.2.1 Defenisi
        Abses hati amebik adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena infeksi Entamoeba histolytica yang bersumber dari intestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel-sel darah dalam parenkim hati (Wenas & Waleleng, 2006).

2.2.2 Etiologi
Etiologi abses hati amebic adalah protozoa pseudopodia amoeba intestinal yang patogen yakni Entamoeba histolytica. Protozoa ini memiliki dua bentuk dalam siklus hidupnya yakni kista dan trofozoit yang dapat bergerak. Bentuk trofozoit merupakan bentuk vegetatif yang tidak tahan terhadap suasana asam dan kering. Trofozoit sangat aktif bergerak,  memiliki kemampuan memangsa eritrosit (haematophagous trophozoite), serta mengandung protease yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan destruksi jaringan.
Bentuk kista merupakan bentuk infektif E.histolytica. Kista resisten terhadap suasana kering dan asam, juga bisa bertahan di luar tubuh manusia. Bentuk kista terdiri atas dua macam yakni kista muda dan ksita dewasa. Kista muda berinti satu mengandung gelembung glikogen dan badan-badan kromatioid berbentuk batang yang berujung tumpul. Kista dewasa berinti empat. Kista hanya terbentuk dan dijumpai di lumen usus dan tidak dapat dibentuk di luar tubuh serta tidak dapat dijumpai di dinding usus dan jaringan tubuh di luar usus.

2.2.3 Patogenesis
E. histolytica masuk ke dalam tubuh manusia melalui kista yang tertelan. Dikarenakan sifatnya yang reisten terhadap asam dan lingkungan, kista yang keluar dari tubuh melalui feses, dapat menempel di daun tanaman, di air, dan tanah sehingga apabila higienitas seseorang kurang baik, maka kontak dengan hal-hal tersebut dapat menjadi sarana masuknya kista ke dalam tubuh. Kista kemudian masuk ke dalam tubuh hingga menuju usus besar. Kista berkembang menjadi trofozaoit yang pada awalnya hidup sebagai komensal. Trofozoit kemudian membentuk koloni dan melepaskan protease yang menyebabkan ulserasi. Faktor penyebab berubahnya sifat trofozoit ini kemungkinan adalah kerentanan pejamu (host) yakni kehamilan, malnutrisi, penyakit keganasan, penggunaan imunosupresan, bahkan konsumsi alkohol jangka panjang; faktor virulensi ameba dan faktor lingkungan.

Amebiasis_LifeCycle
Gambar 1 : Siklus Hidup E.histolytica

Selanjutnya, kerusakan sawar intestinal akibat lisisnya sel epitel mukosa usus dan sel-sel inflamatorik mengakibatkan trofozoit dapat masuk melalui vena-vena kolon seperti venula mesentrica yang merupakan cabang vena porta hepatica. Selanjutnya, lewat aliran vena tersebut trofozoit dapat mencapai parenkim hati. Parasit ini di hati mengakibatkan akumulasi netrofil periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Pada awalnya terbentuk mikroabses yang kemudian membesar dan terbentuk jaringan nekrotik. Bagian nekrotik ini kemudian dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa. Amebiasis hati ini dapat terjadi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah terjadinya amebic intestinal dan dapat terjadi tanpa didahului oleh riwayat disentri amebiasis sebelumnya.
Abses lebih sering terjadi di lobus kanan hati dibandingkan di lobus kirnya. Hal ini sesuai dengan aliran vena porta di lobus kanan yang lebih dominan berasala dari vena mesentrica superior, sementara lobus kiri lebih banyak menerima aliran dari vena splanchnicus (Brailita, 2008)
           
2.2.3 Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis:
Pasien umumnya datang dengan keluhan nyeri abdomen kanan atas. Nyeri dirasakan seprti tertusuk dan ditekan. Nyeri dapat dirasakan menjalar hingga ke bahu dan lengan kanan. Pasien merasa semakin nyeri apabila batuk, berjalan, menarik napas dalam, dan berbaring miring ke sisi tubuh sebelah kanan. Pasien juga merasa lebih nyaman berbaring miring ke sisi tubuh sebelah kiri.
Demam dijumpai pada 87-100% kasus, mual dan muntah ditemukan pada 32-85% kasus, dan dapat dijumpai pula penurunan berat badan. Keluhan diare dijumpai pada sepertiga kasus, bahkan pada beberapa kasus dijumpai riwayat disentri beberapa bulan sebelumnya (Brailita, 2008).
Hal lainnya yang perlu dinilai dalam anamnesis adalah riwayat sakit kuning sebelumnya dan riwayat keluarnya proglottid ( lembaran putih di pakaian dalam) dengan tujuan menyingkirkan diagnosa banding.
b. Pemeriksaan fisik:
Dari pemeriksaan tanda vital umumnya ditemukan demam. Pada mata ditemukan konjungtiva palpebra inferior pucat. Selain itu juga dapat dijumpai sklera ikterik akibat abses yang multiple ataupun abses yang meluas hingga menekan duktus biliaris. Pada pemeriksaan thorax dapat dijumpai peningkatan batas paru hati relatif/absolut tanpa peranjakan. Selain itu, suara pernapasan dapat melemah pada lapangan paru kanan bawah. Ditemukannya ‘friction rub’ pada pemriksaan thorax menunjukkan rupture abses ke pericardium dan nilai mortalitasnya sangat tinggi.
Dari pemeriksaan abdomen ditemukan hepatomegali yang nyeri tekan. Hepar meiliki tepi yang regular dengan permukaan licin dan teraba adanya fluktuasi. Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan Ludwig sign, yakni menekan sela iga ke-6 setentang linea axilaris anterior, apabila terdapat nyeri tekan maka menguatkan dugaan abses hati. Nyeri tekan di kuadran kanan atas umumnya dijumpai. Nyeri tekan pada region epigastrium menggambarkan kemungkinan abses di lobus kiri dan keadaan ini harus diwaspadai mengingat kecenderungan abses di lobus kiri  menyebabkan efusi pericardium. Nyeri tekan yang menjalar ke lumbal kanan menimbulkan dugaan letak abses di postoinferior lobus kanan hati. Apabila terdapat akut abdomen dan bising usus menghilang maka dipertimbangkan kemungkinan perforasi ke peritoneum.
c. Pemeriksaan laboratorium:
Pemeriksaan laboratorium yang pertama dipertimbangkan adalah pemeriksaan darah rutin dimana akan ditemukan leukositosis ( 11.000-25.000/mm3) dengan neutrofil batang >70% dan anemia normokromik normositer. Akan tetapi, pada kasus yang kronik, leukosistosis dapat saja tidak ditemui dan dijumpai anemia hipokrom mikrositer.
Pada pemeriksaan feses rutin dapat dijumpai leukosit, kista, dan bentuk trofozoit yang mengandung eritrosit.
Pemeriksaan fungsi hati perlu dilakukan untuk menyingkirkan diagnosa banding, dan mengetahui kronisitas penyakit. Pada abses hati yang akut dapat dijumpai peninggian SGOT. Sementara itu, pada kasus yang kronik SGOT cenderung normal, akan tetapi terjadi peningkatan SGPT. Akan tetapi pada beberapa kasus yang dilaporkan, tidak dijumpai peninggian SGOT dan SGPT. Hiperbilirubinemia jarang terjadi kecuali abses mengakibatkan kolestasis.
d. Radiologis:
Pada foro thorax dijumpai dome diafragma yang meninggi, hal ini dimungkinkan akibat penekanan abses. Pada USG abdomen didapati lesi berbentuk bulata atupun oval, tunggal, berbatas tegas dan hipoekoid. USG abdomen juga dapat mengkonfirmasi letak lobus.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk menyingkirkan diagnose banding selanjutnya adalah alfafetoprotein (AFP) dimana nilai normalnya 0-20ng/ml. Apabila didapati AFP > 400ng/ml maka nilai ini sangat sugestif untuk penegakan diagnosa hepatoma.
e.  Kriteria Penegakan Diagnosis ;
Terdapat beberapa acuan penegakan diagnosis yakni kriteria Ramachandra, kriteria Sherlock, juga kriteria Lamont dan Pooler.
Kriteria Ramachandran ditegakkan abses hati bila didapatkan tiga atau lebih dari:
-          Hepatomegali yang nyeri tekan
-          Riwayat disentri
-          Leukositosis
-          Kelainan radiologis
-          Respons terhadap terapi amoebisid
Kriteria Sherlock yakni :
-          Hepatomegali yang nyeri tekan
-          Respon yang baik terhadap terapi amoebisid
-          Leukositosis
-          Peninggian diafragma kanan dengan pergerakan yang kurang
-          Aspirasi pus
-          Pada USG ditemukan rongga dalam hati
-          Tes hemaglutinasi positif
Kriteria  Lamont dan Pooler ditegakkan abses hati bila didapatkan tiga atau lebih dari:
-          Hepatomegali yang nyeri
-          Kelainan hematologis
-          Kelainan radiologi
-          Pus amoebik
-          Tes serologi positif
-          Kelainan sidikan hati
-          Respon yang baik terhadap terapi amoebisid
f. Diagnosa banding
Diagnosa banding abses hati amebic adalah:
-          Abses hati piogenik: umumnya disebabkan apendisitis dan infeksi pada saluran empedu. Dengan demikian, pada anamnesis perlu ditanyakn riwayat nyeri abdomen kanan bawah dan riwayat sakit kuning sebelumnya
-          Kolesistisis
-          Kista hidatid : perlu ditanyakan kebiasaan makan dan adanya pengeluaran proglotid
-          Kolelitiasis ; perlu ditelusuri gambaran nyeri, sclera ikterik dan Murphy sign
-          Karsinoma sel hati primer

2.2.4 Penanganan
Terapi untuk pasien dengan abses hati amebic berupa medikamentosa, aspirasi terapeutik, dan pembedahan.
Pemberian derivat nitroimidazole seperti metronidazole masih merupakan lini pertama pengobatan abses hati amebik dengan dosis 3x750 mg selama 5-10 hari. Hal ini dikarenakan kemampuannya sebagai agen amebiasis ekstraluminal. Akan tetapi obat ini tidak poten terhadap kista (bentuk intraluminal) sehingga perlu dikombinasikan dengan Paramomycin dengan dosis 4X500mg. Pilihan lainnya dapat pula ditambahkan atau diganti dengan kloroquin fosfat dengan dosis 1gr/hari selama 2 hari dilanjutkan dengan 500mg/hari selama 20 hari. Hal ini dilakukan apabila setelah terapi metronidazole selama 5 hari tidak terdapat perbaikan ataupun bila terdapat intoleransi. Obat lini kedua yang digunakan yakni dihydroemetin 1-1,5mg/kgBB/hari secara intramuskular (maksimum 99gr/hari) selama 10 hari. Akan tetapi,  yang terakhir disebutkan relatif toksik sehingga perlu kewaspadaan pemakaian.
Tindakan aspirasi terapeutik diindikasikan apabila :
-           abses dikhawatirkan akan pecah ( terutama bila diameter >5 cm)
-          Tidak ada respon terhadap medikamentosa setelah 7 hari
-          Abses berada di lobus kiri memiliki risiko mudah pecah ke rongga peritoneum ataupun pericardium
Tindakan pembedahan berupa drainase atau[un lobektomi dilakukan apabila :
-          Abses disertai komplikasi infeksi sekunder
-          Abses jelas menonjol ke abdomen atau ruang interkostla
-          Terapi medika mentosa dan aspirasi tidak berhasil
-          Rupture abses ke rongga perikardial/pleural/peritoneum

2.2.5 Komplikasi
Komplikasi yang umumnya terjadi dapat berupa:
a. infeksi sekunder yang umumnya terjadi pada 10-20% kasus
b. ruptur abses menyebabkan perikarditis, pleuritis ataupun peritonitis
c. komplikasi vaskuler berupa ruptur abses ke dalam vena porta hepatica, saluran empedu, ataupun traktus gastrointestinal
d. parasitemia dan amebiasis serebral dimana parasit masuk ke alirand arah sistemik dan menginvasi organ lain misalnya otak yang memberikan gambaran klinik lesi fokal intrakranial.

2.2.6 Tatalaksana
Beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis yakni virulensi parasit, status imunitas dan keadaan nutrisi pasien, usia pasien dimana prognosis lebih buruk pada usia tua, kronisitas penyakit dimana tipe akut memiliki prognosis yang lebih buruk, letak dan jumlah abses, prognosis lebih buruk bila abses di lobus kiri atau multiple.
Sejak digunakannnya pemberian obat seperti emetine, metronidazole, dan kloroquin, mortalitas menurun secara tajam. Penyebab mortalitas umumnya adalah sepsis ataupun sindrom hepatorenal.
 

4 komentar:

  1. informasi yang sangat bermanfaat sekali nii, pagi hari lumayan dapat ilmu
    http://obat-alami.info/obat-alami-abses-hati/

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum , untuk abses haper apa ada obat herbal yg bisa mengurangi/menghilangkan.
    Mohon pencerahan nya. Terimakasih

    BalasHapus
  3. Saya skrng sdh trkena abses dn sy ktahui melalui proses pemeriksaan dokter spsialis dlm, disuntik, dibrikan obat, dn rasan nyeri berangsur hilang, demam hilang, apakah infeksiny sdh sembuh...... Atau hrus bgamnalagi...tlng brikan saran Dok...

    BalasHapus
  4. Saya skrng sdh trkena abses dn sy ktahui melalui proses pemeriksaan dokter spsialis dlm, disuntik, dibrikan obat, dn rasan nyeri berangsur hilang, demam hilang, apakah infeksiny sdh sembuh...... Atau hrus bgamnalagi...tlng brikan saran Dok...

    BalasHapus